Pembantaian di Rwanda, yang di dunia internasional juga dikenal sebagai genosida Rwanda, adalah sebuah pembantaian 800.000 suku Tutsi dan Hutu moderat oleh sekelompok ekstremis Hutu yang dikenal sebagai Interahamwe yang terjadi dalam periode 100 hari pada tahun 1994.
Rwanda sendiri adalah sebuah negeri berpenduduk 7,4 juta jiwa dan merupakan negara terpadat di Afrika Tengah.
Peristiwa ini bermula pada tanggal 6 April 1994, ketika Presiden Rwanda, Juvenal Habyarimana menjadi korban penembakan saat berada di dalam pesawat terbang. Beberapa sumber menyebutkan Juvenal Habyarimana tengah berada di dalam sebuah helikopter pemberian pemerintah Perancis.
Saat itu, Habyarimana yang berasal dari etnis Hutu berada dalam satu heli dengan presiden Burundi, Cyprien Ntarymira. Mereka baru saja menghadiri pertemuan di Tanzania untuk membahas masalah Burundi. Sebagian sumber menyebutkan pesawat yang digunakan bukanlah helikopter melainkan pesawat jenis jet kecil Dassault Falcon.
Disinyalir, peristiwa penembakan keji itu dilakukan sebagai protes terhadap rencana Presiden Habyarimana untuk masa depan Rwanda. Habyarimana berencana melakukan persatuan etnis di Rwanda dan pembagian kekuasaan kepada etnis-etnis itu. Rencana itu telah disusun setahun sebelumnya, seperti tertuang dalam Piagam Arusha (Arusha Accord) pada tahun 1993. Untuk diketahui, Habyarimana menjadi presiden Rwanda sejak tahun 1993. Sebelumnya ia menempati posisi sebagai Menteri Pertahanan Rwanda.
Pada tahun 1990-an Habyarimana merintis suatu pemerintahan yang melibatkan tiga etnis di Rwanda yakni Hutu (85%), Tutsi (14%) dan Twa (1%). Habyarimana mengangkat perdana menteri Agathe Uwilingiyama dari suku Tutsi. Pengangkatan dari suku berbeda jenis ini jelas tidak diterima oleh kelompok militan yang ingin mempertahankan sistem pemerintahan satu suku.
Kekhawatiran sekaligus kekecewaan berlebihan inilah yang akhirnya memuncak menjadi tindak pembunuhan terhadap presiden sendiri. Habyarimana akhirnya dibunuh bersama presiden Burundi oleh kelompok militan penentangnya ketika mereka berada di dalam pesawat (atau helikopter) pemberian Presiden Perancis Francois Mitterand
Peristiwa tragis penembakan Presiden Habyarimana kontan mengakhiri masa 2 tahun pemerintahannya. Lebih mengerikan lagi, peristiwa ini memicu pembantaian etnis besar-besaran di Rwanda. Hanya dalam beberapa jam setelah Habyarimana terbunuh, seluruh tempat di Rwanda langsung diblokade.
Pasukan khusus Pengawal Presiden dengan bantuan instruktur Perancis segera beraksi. Mereka bekerja sama dengan kelompok militan Rwanda, Interahamwe dan Impuzamugambi.
Dimulai dari ibu kota Rwanda, ketiga kelompok bersenjata itu mulai membunuh siapa saja yang mendukung piagam Arusha tanpa memedulikan status dan sebagainya. Perdana Menteri Rwanda yang berasal dari suku Tutsi tak lepas dari pembunuhan kelompok bersenjata. Selain dia, masih ada nama-nama dari kalangan menteri, pastor dan siapa saja yang mendukung maupun terlibat dalam negosiasi piagam Arusha.
Sebagian besar korban digeletakkan begitu saja dan tidak dimakamkan secara layak. Paling umum saat itu hanyalah ditimbun dengan tanah sekedarnya. Pegunungan Gisozi disinyalir menjadi tempat pemakaman massal. Di tempat ini diperkirakan terdapat 250.000 jasad warga tak berdosa korban konspirasi keji. Dikatakan konspirasi, karena kemudian berkembang cerita bahwa kudeta ini dilakukan pemimpin Front Patriotik Rwanda, RPF (Rwandan Patriotic Front) yaitu Paul Kagame. Usai pembunuhan massal, Kagame tampil sebagai Presiden mengantikan Habyarimana.
Dalam seratus hari pembantaian berbagai kalangan mencatat tidak kurang dari 800.000 jiwa atau paling banyak sekitar satu juta jiwa etnis Tutsi menjadi korban pembantaian. Lalu setelah Kigali jatuh ke tangan oposisi RPF pada 4 Juli 1994, sekitar 300 mayat masih saja terlihat di alam terbuka di kota Nyarubuye berjarak 100 km dari timur Kigali. Korban yang jatuh di etnis lain (Twa dan Hutu) tidak diketahui, akan tetapi kemungkinan besar ada walaupun tidak banyak jumlahnya.
Pembunuhan besar-besaran di Rwanda sayangnya tidak mendapatkan perhatian besar dari dunia internasional khususnya Perancis, Inggris dan Amerika Serikat. Salah satu penyebab paling dominan adalah karena negeri ini tidak memiliki nilai kepentingan strategis di mata internasional.
Kenyataan ini sangat disayangkan oleh berbagai pihak. Ketika konfrensi tentang pembantaian etnis dilaksanakan di Kigali tahun 2004, disebutkan secara jelas, forum menunjuk Amerika Serikat, Belgia, Perancis dan Inggris berada di balik tragedi pembantaian. Sekretaris Jendral PBB Kofi Annan yang waktu lalu menjabat sebagai wakil komandan pasukan penjaga perdamaian di Rwanda tak luput mendapat sorotan. Terutama setelah ia mendapat Penghargaan Nobel untuk bidang perdamaian.
Juga disebutkan, veto dari Dewan Keamanan PBB yang akhirnya menurunkan jumlah pasukan penjaga perdamaian dari 2500 personil menjadi 450 personil tidak mampu mengatasi masalah. "Pihak luar gagal mencegah pembantaian selama 100 hari di Rwanda" kata Presiden Paul Kagame sebelum memimpin upacara mengheningkan cipta.
0 komentar:
Posting Komentar